Jiwa Itu Tersimpan di Balik Otak
Kecerdasan Ilahiyah, Tasawuf Modern
Agus Mustofa banyak menulis buku, yang menghubungkan tasawuf
dan sains modern. Banyak ide-ide pengetahuan yang selama ini jarang dikaji
orang, tetapi berhasil diungkapkannya secara detil dan mendalam. Kepada Ahmad
Suprianto dari ‘Jendela Santri’ pengasuh Kajian Tasawuf Modern ini mengurai
soal inteligensi manusia. Yang menarik, dirinya mendekatinya melalui pilahan antara
ruh, nafs dan jasad. Berikut petikan wawancaranya:
Anda mendefinisikan manusia terdiri dari tiga unsur; ruh,
jiwa dan jasad. Bagaimana Anda menjelaskan hal tersebut?
Saya berangkat dari terminologi al-Qur’an terkait pembagian
tersebut. Jika berangkat dari terminologi umum itu hanya terbagi menjadi dua;
jiwa-raga, lahir-batin, tubuh-nyawa. Tapi al-Qur’an ternyata memilahnya ke
dalam tiga bagian; jisim/jasad, jiwa/nafs-anfus, dan ruh. Secara saintifik,
jasad terdiri dari organ. Organ terdiri dari jaringan sel. Sel terdiri dari
molekul. Molekul terdiri dari atom dan seterusnya. Itu semua merupakan sesuatu
yang material. Dan material itu benda mati.
Lalu korelasinya dengan jiwa?
Kalau kita analogikan dengan komputer, jasad itu ibarat
hardware atau perangkat kerasnya. Tentu ada pentium satu, dua, dan seterusnya.
Semakin hebat sirkuitnya, kian hebat chip atau otak komputer tersebut. Tapi
perlu diingat, hadware itu adalah benda mati. Dan setiap benda itu memiliki
energi. Nah, energi inilah yang disebut dengan jiwa. Karena Allah mencipta
badan manusia itu berbeda-beda, maka energinya juga berbeda pula setiap orang.
Energi itu tersimpan di balik otak. Jadi, otak adalah merupakan perbatasan
antara badan dan jiwa.
Lantas dengan keberadaan ruh sendiri..
Badan dan jiwa itu benda mati, karena keduanya tak memliki
kehendak sendiri. Jadi harus ada yang mengendalikan. Nah, ruhlah yang
menghidupkan keduanya. Dengan kata lain, ruh adalah OS (operasional system).
Ruh merupakan sifat-sifat ilahiah yang ditularkan ke dalam skala makhluk. Maka
ketika badan dan jiwa yang tadinya mati, ketika ditiupi ruh ketuhanan dia
menjadi hidup. Begitu OS yang berupa ruh dimasukkan ke dalam jasad atau
hardwarenya. maka jiwa mulai bisa dididik. Istilah komputernya bisa dimasuki
program-program aplikasi. Itupun harus sesuai dengan hardwarenya.
Jadi.. ruh itu adalah sistem informasinya?
Iya. Setiap diri itu sudah menyimpan potensi ilahiah. Jika
potensi itu bisa disalurkan ke luar, maka kita disebut sebagai orang yang
mendekat kepada Allah. Tetapi konsep dekat di sini tidak seperti konsep dekat benda.
Dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwa Allah itu lebih dekat dari pada urat nadi.
Artinya Tuhan itu lebih dekat dari sesuatu yang tak berjarak.
Dari uraian Anda bisa disimpulkan, bahwa dalam diri manusia
itu sudah ada potensi kecerdasan, potensi kreativitas, serta potensi-potensi
lain yang bersifat ilahiah. Dan setiap orang punya potensi yang sama..
Betul!
Lantas apa yang menyebabkan sehingga keluarnya berbeda-beda?
Taruhlah ada bola kaca yang bersinar, kemudian dilapisi dua
lapis lagi bola kaca. Lapisan terdalam adalah ruh, lapisan kedua adalah jiwa,
dan lapisan terluar adalah jasad. Jika lapisan di tengah yakni jiwa dikotori,
maka cahaya dari inti bola kaca akan terhijab.
Dalam hadits disebutkan, bahwa
seitap kali seseorang berbuat dosa, itu menabung noda hitam di dalam jiwanya.
Dengan demikian, maka potensi nuraninya, cahaya ruhiahnya tidak keluar lantaran
terhalang oleh noktah dosa tadi. Nah, jika ingin mengeluarkan potensi ilahiah
di dalam diri kita, cukup bersihkanlah jiwa. Akhlaknya diperbaiki. Maka dengan
sendirinya potensi ilahiahnya itu keluar dengan sendirinya.
Tapi di dalam al-Qur’an kan disebutkan, bahwa jiwa itu punya
potensi baik dan sekaligus buruk?
Itu artinya, ia bisa berubah kualitas. Bahwa jiwa itu bisa
diupgrade atau didowngrade. Tapi ruh tidak. Ruh itu standar. Jadi menurut
al-Qur’an, jiwa itu sebagai entitas yang bisa naik bisa turun. Sebab ada nafs
al-ammarah (cenderung emosional), nafs
al-hawa (cenderung merusak), nafs al-lawwama (cenderug menyesali kesalahan),
nafs al-mutmainnah (tenang). Jadi manusia itu asalnya netral.
Kuncinya, kalau
dirinya senantiasa menyucikan jiwanya, berarti dia akan menemui kemenangan.
Tapi jika dia justru suka mengotorinya, maka hidupnya akan celaka.
Jadi intinya, senantiasa perbaikilah kualitas jiwa..
Benar. Sebab jiwa itu memilki fitur-fitur. Secara garis
besar, ada fikir dan dzikir. Bagi orang yang mampu mengoptimalkan keduanya,
al-Qur’an menjulukinya sebagai ulul albab. Inilah orang yang bisa mengambil
pelajaran dalam arti subtansial. Sebab hatinya selalu berdzikir dan sanggup
pula mendayagunakan perangkat berfikirnya untuk tafakkur secara ilmiah.
Tafakkur itu ya kecerdasan intelektual atau IQ. Sedangkan tadzakuur itu lebih
condong pada kecedasan emosional.
Tapi orang Barat kan sains dan teknologinya lebih canggih
ketimbang kita?
Orang Barat lebih cenderung pada tafakkur. Tafakkur atau
berfikir secara ilmiah itu komponennya ada yang disebut logika, rasionalitas,
analisa, memori dan perangkat ilmiah yang empiris. Dengan perangkan tersebut
mereka memang bisa membaca semesta, tapi hanya sebatas permukaannya saja yang
bersifat materialistik.
Nah, orang Barat yang menggunakan satu perangkat saja
bisa luar biasa seperti itu. Alangkah indahnya jika kedua potensi tadi
dipersandingkan secara mesra. Tentu akan memunculkan generasi ulul albab..
Tidak ada komentar
Posting Komentar